PEDOMAN PERKADERAN

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

MUKADDIMAH

أشهد ان لا اله الا الله وأشهد ان محمد رسول الله

(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah

dan Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah)

Sesungguhnya Allah telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia dalam kehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, manusia dituntut mengejawantahkan nilai-nilai ilahiyyah dibumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya. Meneladai Tuhan dengan bingkai pengabdian kehadirat-Nya melahirkan konsekuensi untuk melakukan pembebasan (liberation) dari belenggu-belenggu selain Tuhan. Dalam konteks ini seluruh penindasan atas kemanusiaan adalah thagut yang harus dilawan. Inilah yang menjadi substansi dari persaksian primordial manusia (Syahadatain).

Dalam melaksanakan tugas kekhalifahannya, manusia harus tampil untuk melakukan perubahan sesuai dengan misi yang diemban oleh para Nabi, yaitu menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rahmat bagi seluruh alam menurut Islam adalah terbentuknya masyarakat yang menjunjung tinggi semangat persaudaraan universal (universal brotherhood), egaliter, demokratis, berkeadilan social (social justice) dan berkeadaban (social civilization) serta istiqomah melakukan perjuangan untuk membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin).

HMI sebagai organisasi kader juga diharapkan mampu menjadi alat perjuangan dalam mentransformasikan gagasan dan aksi terhadap rumusan cita yang ingin dibangun yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Dalam aktifitas keseharian, HMI sebagai organisasi kader, platform yang jelas dalam menyusun agenda yaitu perlu mendekatkan diri pada realitas masyarakat dan secara intens berusaha membangun proses dialektika secara obyektif dalam pencapaian tujuannya. Daya sorot HMI terhadap peroalan, tergambar pada penyikapan kader yang memiliki keberpihakan terhadap kaum tertindas (mustadh’afin) serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan kaum penindas (mustakbirin).

Agar dapat mewujudkan cita-cita diatas, maka seyogyanya perkaderan harus diarahkan pada proses rekayasa pembentukan kader yang memiliki karakter, nilai dan kemampuan yang berusaha melakukan transformasi watak kepribadian seorang muslim yang utuh (khaffah), sikap dan wawasan intelektual yang melahirkan kritisisme serta orientasi pada kemampuan profesionalisme. Oleh karena itu untuk memberikan nilai tambah yang optimal bagi perkaderan HMI, maka ada 3 (tiga) hal yang harus diberi perhatian serius. Pertama, rekruitmen calon kader. Dalam hal ini HMI harus menentukan prioritas rekruitmen calon kader dari mahasiswa pilihan, yakni input kader yang memiliki integritas pribadi, bersedia melakukan peningkatan dan pengembangan yang terus menerus serta berkelanjutan, memiliki orientasi prestasi dan memiliki potensi leadership, serta memiliki kemungkinan untuk aktif dalam organisasi. Kedua, proses perkaderan yang dilakukan sangat ditentukan oleh kualitas pengurus sebagai penanggung jawab perkaderan, pengelola latihan, pedoman perkaderan dan bahan yang dikomunikasikan serta fasilitas yang digunakan. Ketiga, iklim dan suasana yang dibangun harus kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas kader, yakni iklim yang menghargai prestasi individu, mendorong gairah belajar dan bekerja keras, merangsang dialog dan interaksi individu secara demokratis dan terbuka untuk membangun sikap kritis yang menumbuhkan sikap dan pandangan futuristic serta menciptakan media untuk merangsang tumbuhnya sensifitas dan kepedulian terhadap lingkungan social yang akan mengalami ketertindasan.

Untuk memberikan panduan (guidance) yang dilaksanakan dalam proses perkaderan HMI, maka dipandang perlu untuk menyusun pedoman perkaderan yang merupakan strategi besar (grand strategy) perjuangan HMI dalam menjawab tantangan organisasi yang sesuai dengan setting social dan budaya yang berlaku dalam konteks zamannya.

BAB I

POLA UMUM PERKADERAN HMI

I. Landasan Perkaderan

Landasan perkaderan merupakan pijakan pokok atau pondasi yang dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam proses perkaderan HMI. Untuk itu, dalam melaksanakan perkaderan HMI bertitik tolak pada 5 (lima) landasan sebagai berikut:

1. Landasan Teologis

Kesadaran sebagai makhluk-Nya yang memiliki keterbatasan dan sebagai wakil Tuhan/khalifah di muka bumi yang memiliki kewajiban menegakkan ‘kalimah’-Nya mengharuskan kader HMI berproses terus-menerus.

2. Landasan Ideologis

Islam sebagai landasan nilai dalam menjalani kehidupan. Islam universalis berwajah modern yang rajin menuntut ilmu dan senang beramal untuk kemajuan, keadilan, dan kemakmuran secara kolektif

3. Landasan Konstitusi

Anggaran Dasar Pasal 3 tentang Asas, Pasal 4 tentang Tujuan, Pasal 5 tentang Usaha, Pasal 6 tentang Independensi, Pasal 7 tentang Status, Pasal 8 tentang Fungsi, Pasal 9 tentang Peran, dan Pasal 10 tentang Keanggotaan. Anggaran Rumah Tangga Pasal Bab I tentang Keanggotaan

4. Landasan Historis

Motivasi dasar kelahiran HMI yakni pertama, mempertahankan NRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan syiar agama Islam. Motivasi dasar tersebut menjadikan kader HMI sebagai bagian integral umat & bangsa.

5. Landasan Sosio-Kultural

Perkaderan HMI diinspirasi oleh dan dikontekstualisasikan dalam sosiokultural kedaerahan, nasional, dan global.

II. Pola Dasar Perkaderan

1. Pengertian Kader

cadre is a small group of people who are specially chosen and trained for a particular purpose” (AS Hornby). Kader HMI adalah anggota HMI yang telah melalui proses perkaderan, memiliki integritas yang utuh: beriman, berilmu, dan beramal saleh sehingga siap mengemban tugas kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Rekruitmen Kader

a. Prioritas pada kualitas tanpa mengabaikan kuantitas calon kader

b. Prioritas pada PT/Lembaga Pendidikan sederajat yang berkualitas

c. Memperhatikan integritas, potensi dasar akademik, potensi berprestasi, potensi dasar kepemimpinan, serta keinginanmelakukan peningkatan kualitas individu secara terus-menerus dari calon kader.

d. Pendekatan rekruetmen dilakukan pada dua kelompok sasaran yakni Tingkat Pra PT dan Tingkat PT.

3. Pembentukan Kader (Cadre Forming)

a. Latihan Kader (Basic, Intermediate and Advance)

b. Pengembangan

· Up Grading

· Pelatihan

· Aktifitas (Organisasional, kelompok dan perorangan)

4. Pengabdian Kader

· Penjabaran dari peranan HMI sebagai organisasi perjuangan

· Jalur pengabdian dapat dilakukan di jalur akademis, dunia profesi, birokrasi dan pemerintahan, dunia usaha, social politik, TNI/Kepolisian, sosial kemasyarakatan, LSM, dll

5. Arah Perkaderan

a. Maksud dan Tujuan

“Usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan organisasi melalui suatu proses sadar dan sistematis sebagai alat transformasi nilai ke-Islaman dalam proses rekayasa peradaban melalui pembentukan kader berkualitas muslim-intelektual-profesional.”

b. Target

Terciptanya kader muslim-intelektual-profesional yang berakhlakul karimah serta mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah fil ardh dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

III. Wujud Profil Kader HMI di Masa Depan

Muslim – Intelektual – Profesional

BAB II

POLA DASAR TRAINING

I. Arah Training

1. Jenis Training

1. Training Formal (Perjenjangan: Basic, Intermediate and Advance)

2. Training Non Formal: Dilakukan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan profesionalisme kepemimpinan serta keorganisasian anggota (misal Pusdiklat, SC, LKK, Up Grading Kepengurusan, Up Grading Kesekretariatan, dll)

2. Tujuan Training Perjenjangan

1. Basic Training (Latihan Kader I) bertujuan terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader umat dan kader bangsa.

2. Intermediate Training (Latihan Kader II) bertujuan terbinanya kader HMI yang mempunyai kemampuan intelektual dan mampu mengelola organisasi serta berjuang untuk meneruskan dan mengemban misi HMI

3. Advance Training (Latihan Kader III) bertujuan Terbinanya kader pemimpin yang mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional serta profesional dalam gerak perubahan organisasi

3. Target Training Perjenjangan

1. Basic Training (Latihan Kader I)

· Memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari

· Mampu meningkatkan kemampuan akademis

· Memiliki kesadaran & tanggungjawab keumatan & kebangsaan

· Memiliki kesadaran berorganisasi

2. Intermediate Training (Latihan Kader II)

· Memiliki kesadaran intelektual yang kritis, dinamis, progresif dan inovatif dalam memprjuangkan misi HMI

· Memiliki kemampuan manajerial dalam berorganisasi

3. Advance Training (Latihan Kader III)

· Memiliki kemampuan kepemimpinan yang amanah, fathanah, sidiq dan tabligh serta mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konseptual dalam dinamika perubahan social

· Memiliki kemampuan mengorganisasi masyarakat dan mentransformasikan nilai-nilai perubahan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.

II. Manajemen Training

1. Metode dan Penerapan Kurikulum

· Urutan materi training harus memiliki korelasi dan tidak berdiri sendiri (asas integrative)

· Materi dan jadwal materi disesuaikan dengan jenjang training

· Cara penyampaian materi training adalah gabungan ceramah dan diskusi/dialog. Semakin tinggi jenjangnya maka semakin diperbanyak dialog/diskusinya

· Adanya penyegaran kembali dalam pengembangan gagasan-gagasan kreatif di kalangan anggota trainer

· Usaha menimbulkan kegairahan (motivasi) antara sesama individu dalam forum training.

· Terciptanya kondisi-kondisi yang equal (setara) antara sesama unsur inndividu dalam forum training

· Adanya keseimbangan dan keharmonisan antara metode training yang dipergunakan dalam tingkat-tingkat training.

2. Kurikulum Training

1. Latihan Kader I (Basic Training)

JENJANG

LATIHAN KADER I

MATERI:

SEJARAH PERJUANGAN HMI

ALOKASI WAKTU: 8 JAM

Tujuan Pembelajaran Umum

Peserta dapat memahami sejarah dan dinamika perjuangan HMI

Tujuan Pembelajaran Khusus

1. Peserta dapat menjelaskan latar belakang berdirinya HMI

2. Peserta dapat menjelaskan gagasan dan visi pendiri HMI

3. Peserta dapat mengklasifikasikan fase-fase perjuangan HMI

Pokok-pokok Bahasan/Sub Pokok Bahasan

1. Pengantar Ilmu Sejarah

a. Pengertian sejarah

b. Manfaat dan kegunaan mempelajari sejarah

2. Misi Kelahiran Islam

a. Masyarakat Arab Pra Sejarah

b. Periode Kenabian Muhammad

1. Fase Makkah

2. Fase Madinah

3. Latar Belakang Berdirinya HMI

a. Kondisi Islam di Dunia

b. Kondisi Islam di Indonesia

c. Kondisi Perguruan Tinggi dan Mahasiswa Islam

d. Saat Berdirinya HMI

4. Gagasan dan Visi Pendiri HMI

a. Sosok Lefran Pane

b. Gagasan Pembaharuan Pemikiran ke-Islaman

c. Gagasan dan Visi Perjuangan Sosial-budaya

d. Komitmen ke-Islaman dan Kebangsaan sebagai Dasar Perjuangan HMI

5. Dinamika Sejarah Perjuangan HMI dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

a. HMI dalam Fase Perjuangan Fisik

b. HMI dalam Fase Pertumbuhan dan Konsolidasi Bangsa

c. HMI dalam Fase Transisi Orde Lama dan Orde Baru

d. HMI dalam Fase Pembangunan dan Modernisasi Bangsa

e. HMI dalam Fase Pasca Orde Baru

Motode

Ceramah, tanya jawab dan diskusi

Evaluasi

Memberikan test objektif/subjektif dan penugasan dalam bentuk resume

JENJANG

LATIHAN KADER I

MATERI:

KONSTITUSI HMI

ALOKASI WAKTU: 10 JAM

Tujuan Pembelajaran Umum

Peserta dapat memahami ruang lingkup konstitusi

Tujuan Pembelajaran Khusus

    1. Peserta dapat menjelaskan ruang lingkup konstitusi HMI dan hubungannya dengan pedoman pokok organisasi lainnya.
    2. Peserta dapat mempedomani konstitusi HMI dan pedoman-pedoman pokok organisasi dalam kehidupan berorganisasi

Pokok-pokok Bahasan/Sub Pokok Bahasan

1. Pengantar Ilmu Hukum

a. Pengertian dan fungsi hukum

b. Hakikat hukum

c. Pengertian konstitusi dan arti pentingnya dalam organisasi

2. Ruang Lingkup Konstitusi HMI

a. Makna muqaddimah AD HMI

b. Makna HMI sebagai organisasi yang berazaskan Islam

c. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI

1. Masalah keanggotaan

2. Masalah struktur kekuasaan

3. Masalah struktur kepemimpinan

3. Pedoman-pedoman Dasar Organisasi

a. Pedoman Perkaderan

b. Pedoman KOHATI

c. Pedoman Lembaga Pengembangan Profesi

d. Pedoman Atribut HMI

e. GPPO dan PKN

4. Hubungan Konstitusi AD dan ART dan Pedoman-pedoman Organisasi lainnya.

Motode

Ceramah, studi kasus, diskusi, seminar dan tanya jawab

Evaluasi

Melaksanakan test objektif/subjektif dan penugasan

JENJANG

LATIHAN KADER I

MATERI:

MISSION HMI

ALOKASI WAKTU: 8 JAM

Tujuan Pembelajaran Umum

Peserta dapat memahami Mission HMI dan hubungannya dengan status, sifat, asas, tujuan, fungsi dan peran organisasi HMI secara integral.

Tujuan Pembelajaran Khusus

1. Peserta dapat menjelaskan fungsi dan peranannya sebagai mahasiswa

2. Peserta dapat menjelaskan tafsir tujuan HMI

3. Peserta dapat menjelaskan hakikat fungsi dan peran HMI

4. Peserta dapat menjelaskan hubungan status, sifat, asas, tujuan, fungsi dan peran HMI secara integral

Pokok-pokok Bahasan/Sub Pokok Bahasan

1. Makna HMI sebagai Organisasi Mahasiswa

a. Pengertian mahasiswa

b. Mahasiswa sebagai inti kekuatan perubahan

c. Dinamika gerakan mahasiswa

2. Hakikat keberadaan HMI

a. Makna HMI sebagai organisasi yang berazaskan Islam

b. Makna independensi HMI

3. Tujuan HMI

a. Arti insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafakan Islam

b. Arti masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT

4. Fungsi dan peran HMI

a. Pengertian fungsi HMI sebagai organisasi kader

b. Pengertian peran HMI sebagai organisasi perjuangan

c. Totalitas fungsi dan peran sebagai perwujudan dari tujuan HMI

5. Hubungan antara azas, tujuan, status, fungsi dan peran HMI secara integral

Motode

Ceramah, diskusi, tanya jawab dan permainan peran

Evaluasi

Test partisipatif, Test Objekif/subjektif dan penugasan

JENJANG

LATIHAN KADER I

MATERI:

NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP) HMI

ALOKASI WAKTU: 14 JAM

Tujuan Pembelajaran Umum

Peserta dapat memahami latar belakang perumusan dan kedudukan NDP serta substansi materi secara garis besar dalam organisasi

Tujuan Pembelajaran Khusus

1. Peserta dapat menjelakan sejarah perumusan NDP dan kedudukannya dalam oranisasi

2. Peserta dapat menjelaskan hakikat sebuah kehidupan

3. Peserta dapat menjelaskan hakikat kebenaran

4. Peserta dapat menjelaskan hakikat penciptaan alam semesta

5. Peserta dapat menjelaskan hakikat penciptaan manusia

6. Peserta dapat menjelaskan hakikat masyarakat

7. Peserta dapat menjalankan hubungan antara iman, ilmu dan amal

Pokok-pokok Bahasan/Sub Pokok Bahasan

1. Sejarah perumusan NDP dan Kedudukan NDP dalam organisasi HMI

a. Pengertian NDP

b. Sejarah perumusan dan lahirnya NDP HMI

c. NDP sebagai kerangka global pemahaman Islam dalam konteks organisasi HMI

d. Hubungan antara NDP HMI dengan Mission HMI

e. Metode pemahaman NDP HMI, penjelasan antara hubungan iman, ilmu dan amal.

2. Garis Besar Materi NDP HMI

a. Hakikat Kehidupan

· Analisa kebutuhan manusia

· Mencari kebenaran sebagai kebutuhan dasar manusia

· Islam sebagai sumber kebenaran

b. Hakikat Kebenaran

· Konsep Tauhid La Ila Ha Illallah

· Eksistensi dan sifat-sifat Allah

· Rukun Iman sebagai upaya mencari kebenaran

c. Hakikat Penciptaan Alam Semesta

· Eksistensi Alam

· Tujuan dan Fungsi penciptaan alam

d. Hakikat Penciptaan Manusia

· Eksistensi manusia dan kedudukannya diantara makhluk lainnya

· Kesetaraan dan kedudukan manusia sebagai khalifah dimuka bumi

· Manusia sebagai hamba Allah

· Fitrah, kebebasan dan tanggung jawab manusia

e. Hakikat Masyarakat

· Perlunya menegakkan keadilan dalam masyarakat

· Hubungan keadilan dan kemerdekaan

· Hubungan keadilan dan kemakmuran

· Kepemimpinan untuk menegakkan keadilan

f. Hakikat Ilmu

· Ilmu sebagai jalan mencari kebenaran

· Jenis-jenis ilmu

Motode

Ceramah, diskusi dan tanya jawab

Evaluasi

Test Objekif/subjektif, penugasan dan membuat kuisoner

JENJANG

LATIHAN KADER I

MATERI:

KEPEMIMPINAN DAN

MANAJEMEN ORGANISASI

ALOKASI WAKTU: 8 JAM

Tujuan Pembelajaran Umum

Peserta dapat memahami pengertian, dasar-dasar, sifat dan fungsi kepemimpinan dan manajemen organisasi

Tujuan Pembelajaran Khusus

1. Peserta mampu menjelaskan pengertian, dasar-dasar, sifat dan fungsi kepemimpinan

2. Peserta mampu menjelaskan pentingnya fungsi kepemimpinan dan manajemen dalam organisasi

3. Peserta dapat menjelaskan dan mengapresiasikan karakteristik kepemimpinan dalam Islam

Pokok-pokok Bahasan/Sub Pokok Bahasan

1. Pengertian, tujuan dan fungsi kepemimpinan dan manajemen organisasi

2. Karakteristik kepemimpinan

a. Sifat-sifat rasul sebagai etos kepemimpinan

b. Tipe-tipe kepemimpinan

c. Dasar-dasar manajemen

d. Unsur manusia dalam manajemen

e. Model-model manajemen

3. Organisasi sebagai alat perjuangan

a. Teori-teori organisasi

b. Bentuk-bentuk organisasi

c. Struktur organisasi

4. Hubungan antara kepemimpinan, dan manajemen organisasi

Motode

Ceramah, diskusi, tanya jawab studi kasus dan simulasi

Evaluasi

Test partisipatif dan Objekif/subjektif

Sejarah HMI :

Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia

Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane dkk menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.

HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.[1]

Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.[2] Masuknya Islam ke bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).[3] Dengan demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran agama dan peradaban[4] sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200[5] untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara. Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).

Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.[6] Aceh kemudian tumbuh menjadi salah satu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara.

Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M.[7] Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit[8] di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.[9]

Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.[10]

Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:

Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.[11]

Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan:

Perhatian Belanda yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.[12]

Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya ketidak beresan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.

Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.[13]

Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.[14]

Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai?

Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.

Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan. [15]

Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI.[16] Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).

Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.

HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.[17]

Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak perlu dipertentangkan.[18] Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.

KETUA UMUM PENGURUS BESAR (PB) HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

DARI PERIODE KE PERIODE

1.

Prof. Drs. Lefran Pane

5 Februari 1947 – 30 November 1947

2.

HMS. Mintaredja

1947 – 1951

Prof. Drs. Lefran Pane

1949 – 1951

Lukman E. Hakim

1951

3.

A. Dahlan Ranuwiharja

1951 – 1953

4.

Deliar Noer

1953 – 1955

5.

Amir Rajab Batubara

1955 - 1957

6.

Ismail Hasan Metareum

1957 – 1960

7.

Drs. Nursal

1960 – 1963

Drs. Oman Komaruddin

1960 – 1963

8.

Drs. Med. Sulastomo

1963 – 1966

9.

Nurkholis Madjid

1966 – 1969 & 1969 – 1971

10.

Akbar Tandjung

1971 – 1974

11.

H. Ridwan Saidi

1974 – 1976

12.

Chumaidi Syarif R

1976 – 1979

13.

Abdullah Hehamahua

1978 – 1981

14.

A. Zacky Siradj

1981 – 1983

15.

Harry Azhar Aziz

1983 – 1986

16.

M. Saleh Khalid

1986 – 1988

17.

Herman Widyananda

1988 – 1990

18.

Ferry Mursyidan Baldan

1990 – 1992

19.

M. Yahya Zaini

1992 – 1995

20.

Taufiq Hidayat

1995 – 1997

21.

Anas Urbaningrum

1997 – 1999

22.

M. Fakhruddin

1999 – 2002

23.

Kholis Malik

2002 – 2003

Muchlis Tapi Tapi (Pj)

2003 – 2004

24.

Hasanuddin

2004 – 2006

25.

Fazar R Zulkarnaen

2006 – 2008

26.

Arip Musthopa

2008 – 2010

KETUA UMUM PENGURUS HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

CABANG BANJARMASIN DARI PERIODE KE PERIODE

1.

1953 – 1954

2.

1954 – 1955

3.

1955 – 1956

4.

1956 – 1957

5.

1957 – 1958

6.

1958 – 1959

7.

1959 – 1960

8.

1960 – 1961

9.

1961 – 1962

10.

1962 – 1963

11.

1963 – 1964

12.

1964 – 1965

13.

1965 – 1966

14.

1966 – 1967

15.

1967 – 1968

16.

1968 – 1969

17.

1969 – 1970

18.

1970 – 1971

19.

1971 – 1972

20.

1972 – 1973

21.

1973 – 1974

22.

1974 – 1975

23.

1975 – 1976

24.

1976 – 1977

25.

1977 – 1978

26.

1978 – 1979

27.

1979 – 1980

28.

1980 – 1981

29.

1981 – 1982

30.

Akhmad Fauzi Aseri

1982 – 1983

31.

Abdul Rasyid Rahman

1983 – 1984

32.

1984 – 1985

33.

A. Sarkati Mastur

1985 – 1986

34.

Hilmi Mizani

1986 – 1987

35.

Mazrur Amri

1987 – 1988

36.

1988 – 1989

37.

Abdul Majid

1989 – 1990

38.

Mukarram

1990 – 1991

39.

Iskandar Z

1991 – 1993

40.

Akhmad Syaikhu

1993 – 1994

41.

Akhmad Maulana

1994 – 1997

42.

Ali Akbar

1997 – 1998

43.

Abdul Halim Rahmat

1998 – 1999

44.

Surya Imam Wahyudi

1999 – 2001

45.

Khalid Fitri

2001 – 2003

46.

Nasrullah MJ

2003 – 2004

47.

Akhmad Zaki Yamani

2004 – 2006

48.

Muhammad Rifqi

2006 – 2008

49.

Khalikin Nor

2008 – 2009

M I S S I O N H M I

Mission adalah tugas dan tanggung jawab yang diemban. Maka mission HMI adalah tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh kader HMI.

Mission HMI adalah dua ide dasar kelahiran HMI (dua komitmen asas) yakni

1. Mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.

2. Mensyiarkan Agama Islam

Ide dasar pertama disebut komitmen dan wawasan kebangsaan. Ide dasar kedua disebut komitmen dan wawasan ke-Islaman.

Kesatuan dari disebut wawasan integralistik, yakni cara pandang yang utuh melihat bangsa Indonesia terhadap tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan sebagai warga Negara dan umat Islam Indonesia.

Rumusan dari mission HMI tergambar dalam tujuan HMI, yaitu: “Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT” (pasal 4 AD HMI)

Dari tujuan diatas, dapat disimpulkan menjadi 5 (lima) kualitas insan cita HMI, yaitu:

1. Kualitas Insan Akademis

· Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, objektif dan kritis.

· Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.

· Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya baik secara teoritis maupun teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.

2. Kualitas Insan Pencipta: Insan Akademis, Pencipta

· Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.

· Bersifat Independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.

· Dengan ditopang kemampuan akademisnya, dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.

3. Kualitas Insan Pengabdi: Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi

· Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesame umat.

· Sadar membawa tugas Insan Pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.

· Insan Akademis, Pencipta dan mengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.

4. Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam: Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi, yang Bernafaskan Islam.

· Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian, Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.

· Ajaran Islam telah berhasil membentuk “unity personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warga Negara dan dirinya sebagai muslim. Kualitas insan ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasional bangsa kedalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.

5. Kualitas Insan Bertanggung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat adil makmur yang Diridhoi oleh Allah SWT.

· Insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

· Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat dari perbuatannya, sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.

· Spontan dalam menghadapi tugas, responsive dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.

· Rasa tanggung jawab, taqwa kepada Allah SWT yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

· Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat adil makmur.

· Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai “khalifah fil ard” yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of future” insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah “man of innovator” (duta-duta pembaharu), penyuara “idea of progress” insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu dan mampu beramal shaleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).

Dan lima kualitas insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas insan cita yaitu kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga insan kualitas pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksi dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

HAKIKAT KEBERADAAN HMI

1. HMI sebagai Organisasi Mahasiswa (Pasal 7 AD HMI)

Makna HMI sebagai organisasi mahasiswa adalah organisasi yang menghimpun mahasiswa yang menuntut ilmu pengetahuan di perguruan tinggi (akademi, universitas, institute, sekolah tinggi) atau yang sederajat memiliki cirri-ciri kemahasiswaan.

Cirri-ciri mahasiswa adalah:

· Ilmiah

· Kritis dan analistis

· Rasional dan objektif

· Sistematis

2. HMI sebagai Organisasi yang Berasaskan Islam (Pasal 3 AD HMI)

Makna HMI sebagai organisasi yang berasaskan Islam adalah organisasi yang menghimpun mahasiswa yang beragama Islam dimana secara individu dan organisatoris memiliki cirri-ciri ke-Islaman dan menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber norma, sumber nilai, sumber inspirasi di dalam setiap aktivitas dan dinamika organisasi.

3. HMI sebagai Organisasi yang Bersifat Independen (Pasal 6 AD HMI)

Makna HMI yang bersifat independent adalah watak organisasi yang selalu tunduk dan berorientasi kepada kebenaran, sehingga setiap kiprah individu dan dinamika organisasi dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara mempunyai pola pikir, pola sikap dan pola laku.

Tidak terikat dan tidak mengikat diri secara organisatoris dengan kepentingan atau organisasi apapun, sesuatu yang dilakukan tidak atas kehendak dan paksaan dari pihak lain.

Independensi HMI dapat dilihat dari dua dimensi:

· Independensi Etis

Sikap dan watak HMI yang termanifestasikan secara individu dan organisasi dalam dinamika berpikir dan berprilaku baik dalam hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan sesama manusia) sesuai dengan fitrah kemanusiaannya yaitu tunduk dan patuh kepada kebenaran (hanif).

· Independensi Organisatoris

Watak HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika intern organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, bebangsa dan bernegara. Dalam kutuhan kehiduan nasional melakukan partisipasi aktif, konstruksi secara konstitusional terhadap pejuangan bangsa dalam pencapaian cita-cita nasional. Hanya tunduk dan komit kepada kebenaran dan tidak tunduk dan komit kepada kepentingan atau organisasi manapun.

Dalam rangka menjalin tegaknya prinsip-prinsip independensi HMI, maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah:

1. Anggota HMI harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Maka tidak diperkenankan melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa nama organisasi atas kehendak pihak luar manapun juga.

2. Anggota HMI tidak dibenarkan mengadakan komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak diluar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.

3. Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif bejuang meneruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakekat dan mission HMI.

Aplikasi dan dinamika berpikir, bersikap dan berperilaku secara keseluruhan dari watak azasi kader HMI terumus dalam bentuk kepribadian:

1. Cenderung kepada kebenaran (hanif)

2. Bebas, merdeka dan terbuka

3. Objektif, rasional dan kritis

4. Progresif dan dinamis

5. Demokratis, jujur dan adil

Fungsi dan Peran HMI

1. HMI berfungsi sebagai organisasi kader (Pasal 8 AD HMI), makna HMI sebagai organisasi yang berfungsi perkaderan adalah organisasi mahasiswa yang beridentitaskan Islam yang melakukan perkaderan, dimana seluruh aktifitas dilakukan berorientasi pada proses kaderisasi, sehingga HMI berfungsi hanya dan selalu membentuk kader-kader muslim, intelektual dan professional.

2. HMI berperan sebagai organisasi perjuangan (Pasal 9 AD HMI), HMI dituntut untuk selalu berjuang menegakkan kebenaran dan dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan dharma baktinya bagi kehidupan bangsa dan Negara.

Tugas Anggota HMI

Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independent untuk:

1. Senantiasa memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah SWT

2. Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran

3. Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.

4. Bersifat kritis dan berfikir bebas kreatif

5. Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan:

· Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.

· Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya.

· Mengadakan tentir club untuk studi ilmu jurusannya dan study club untuk masalah kesejateraan dan kenegaraan.

· Giat dalam studi dan selalu mengikuti perkembangan situasi.

· Selalu mengadakan perenungan terhadap ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya dan mengemukakan pendapatnya sendiri.

· Selalu hadir dalam forum ilmiah

· Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan

· Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam mengambil peran dalam kegiatan HMI

Tujuan HMI sebagaimana dirumuskan dalam pasal 4 AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dari setiap anggota HMI. Insan Cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang kader HMI dalam membina dirinya untuk mencapai kualitas insan cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI.

Insan Cita HMI ini pada suatu waktu akan merupakan intellectual community (kelompok intelejensia) yang mampu merealisir cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spiritual, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).

KONSTITUSI HMI

A. Pengantar Ilmu Hukum

a. Pengertian dan Fungsi Hukum

Pada dasarnya pakar hukum berbeda-beda dalam mendefinisikan kata hukum itu sendiri, dalam hal ini ada beberapa pendapat dari pakar hukum tentang pengertian tersebut.

· Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan hendaknya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan.

· Sedangkan menurut Simorangkir, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya sebuah tindakan yakni hukuman atau sanksi.

Adapun fungsi hukum dalam kaitannya dengan pembangunan ini menurut Sunaryati Hartono ada 4 yakni:

· Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan

· Hukum sebagai sarana pembangunan

· Hukum sebagai sarana penegak keadilan

· Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat

b. Hakekat Hukum

Pada hakekatnya hukum itu mempunyai dua fungsi yakni sebagai pengikut dari perubahan yang terjadi pada masyarakat dan sedapat mungkin berusaha melegitimasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan fungsi kedua agak bertolak belakang dengan fungsi yang pertama yakni sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

  1. Pengertian Konstitusi dan Arti Pentingnya dalam Organisasi

Konstitusi adalah istilah lain dari Constitution atau Verfasung. Pada dasarnya pengertiannya dibedakan dengan undang-undang dasar, akan tetapi karena perkembangan zaman yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis demi tercapainya kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum yang lebih dikenal dengan istilah paham kodifikasi. Isi dari konstitusi bersifat fundamental artinya hal-hal yang bersifat pokok dan dasar saja. Jadi pada intinya konstitusi diibaratkan sebagai kesatuan organisasi yang nyata dan mencakup semua bangunan hukum dan semua organisasi-organisasi yang ada di dalam Negara.

Sedangkan pentingnya konstitusi dalam organisasi yakni bahwa konstitusi dalam suatu organisasi merupakan acuan dasar organisasi untuk menentukan arah, tujuan dan kebijakan yang diambil pada organisasi tersebut.

B. Ruang Lingkup Konstitusi HMI

a. Makna Mukaddimah AD HMI

Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna telah diwahyukan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk mengatur dan mencoba mengarahkan kehidupan manusia selaku khilafah dimuka bumi ini. Tanpa menafikan pentingnya arti sebuah takdir, manusia juga boleh berusaha untuk mencapai segala yang dicita-citakannya termasuk diantaranya kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Salah satu takdir yang harus diterima bangsa Indonesia ialah mencapai sebuah kemerdekaan bagi Negaranya pada tanggal 17 Agustus 1945, mahasiswa sebagai salah satu elemen dari bangsa ini tentunya tidak boleh diam dan berpangku tangan dalam mengisi kemerdekaan yang telah dicapai republic ini dengan cara menjalankan hak dan kewajibannya, peran dan tanggung jawabnya sekaligus berusaha untuk mencapai sebuah tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

b. Makna HMI sebagai Organisasi yang Berasaskan Islam[19]

Secara normative Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual, akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemahaman kesadaran, kepentingan, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.

Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika Islam. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan social budaya).

Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses ambigiusitas dan distortif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutul understanding antara Islam sebagai agama dan pancasila sebagai ideology. Penempatan posisi yang antagonisering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dan politisi-politisi yang mengalami split personality.

Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi fisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1947 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke-Indonesiaan. Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekan). Dari sisi lain kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah tertuangnya nilai-nilai tersebut secara normative pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan dan pembela mutadh’afin.

c. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI

Yang menjadi anggota HMI adalah mahasiswa Islam yang terdaftar pada perguruan tinggi/sederajat yang ditetapkan oleh Pengurus Cabang/Pengurus Besar, Anggota HMI terdiri dari:

1. Anggota Muda: Mahasiswa Islam yang menuntut ilmu pada Pergurun Tinggi/Sederajat yang telah mengikuti Masa Perkenalan Calon Anggota (MAPERCA)[20]

2. Anggota Biasa: Anggota muda yang telah memenuhi syarat dan atau anggota muda yang telah mengikuti Basic Training (Latihan Kader I).[21]

3. Anggota Kehormatan: Orang yang berjasa kepada HMI yang telah ditetapkan oleh Pengurus Cabang / Pengurus Besar.[22]

Masa keanggotaan HMI terhitung sejak mengikuti Basic Training (Latihan Kader I), masing-masing 2 tahun setelah berakhirnya masa studi S0 dan S1 dan 1 tahun untuk S2 dan S3.

Status keanggotaan di HMI habis karena: 1) Telah berakhir masa keanggotaannya, 2) Meninggal dunia, 3) Mengundurkan diri, 4) Menjadi anggota partai politik, 5) Diberhentikan atau dipecat. Sedangkan anggota yang habis masa keanggotaannya saat menjadi pengurus, maka diperpanjang masa keanggotaannya sampai selesai masa kepengurusannya.[23] Dalam keadaan tertentu anggota HMI dapat merangkap menjadi anggota pada organisasi lain atas persetujuan Pengurus Cabang. [24]

Struktur kekuasaan tertinggi di HMI dipegang oleh Kongres yang merupakan utusan cabang-cabang dan dilaksanakan 2 tahun sekali,[25] kemudian diikuti oleh Konferensi Cabang (KONFERCAB) yang merupakan musyawarah utusan Komisariat-komisariat dan diselenggarakan satu kali dalam setahun[26], kemudian yang paling bawah yakni Rapat Anggota Komisariat (RAK) yang merupakan musyawarah anggota biasa komisariat dan juga diadakan satu kali dalam setahun.[27]

Mengenai struktur pimpinan di HMI sebenarnya hanya ada 3 yakni Pengurus Besar yang merupakan Badan kepemimpinan tertinggi organisasi, kemudian Pengurus Cabang yang merupakan satu kesatuan organisasi yang dibentuk di daerah yang ada Perguruan Tingginya dan yang terakhir yakni Komisariat yang merupakan kesatuan organisasi yang dibentuk pada satu atau beberapa fakultas dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Akan tetapi untuk membantu tugas Pengurus Besar dalam mengkoordinir beberapa cabang dibentuklah Badan Koordinasi dan untuk membantu tugas Pengurus Cabang dlam mengkoordinir beberapa komisariat dibentuklah Koordinator Komisariat.

C. Pedoman-pedoman Dasar Organisasi

Ada beberapa pedoman-pedoman dasar organisasi dalam HMI yang harus mengacu kepada konstitusi sebagai nperaturan tertinggi yang menaturnya yakni Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI seperti Pedoman Perkaderan, Pedoman Dasar KOHATI (PDK), Pedoman Lembaga Kekaryaan, Pedoman Atribut HMI, Garis-garis Pokok Perjuangan Organisasi dan Program Kerja Nasional.

D. Hubungan Konstitusi AD/ART HMI dengan Pedoman Organisasi Lainnya.

Hampir semua organisasi menjadikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagai konstitusi dari sebuah organisasi, dinegara kita Indonesia Undang-undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang harus dijadikan acuan dalam pembuatan peraturan yang ada dibawahnya baik itu Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah, dalam struktur Negara kita pasca dilakukannya amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar 1945 berada pada posisi paling tinggi yang harus dijadikan pijakan dalam membuat sebuah kebijakan baik itu ditingkat eksekutif, legislative maupun yudikatif.

NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP)

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

A. Sejarah Perumusan NDP

Sampai pada fase pertumbuhan, pedoman perjuangan HMI yang mendasar dan sistematis belum ada, setelah fase berikutnya baru disusun Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada kongres ke-16 di Padang.

Kronologis lahirnya NDP dilatarbelakangi oleh:

1. Keadaan Negara

Seperti kita ketahui bahwa bangsa Indonesia sekitar tahun 1966 – 1968 tengah mengalami perbaikan dari segi infrastruktural karena bangsa Indonesia baru dilanda badai pengkhianatan PKI

2. Keadaan Umat Islam

Norkholis Madjid dalam bukunya “HMI Menjawab Tantangan Zaman” mengungkapkan bahwa muslim Indonesia adalah termasuk yang paling sedikit ter-Arab-kan. Di Indonesia pemahaman Islam masih dangkal sehingga masih ada persoalan yaitu bagaimana menghayati nilai-nilai Islam itu sendiri.

  1. Antek-antek PKI mempunyai Buku Pedoman yang Baik

Untuk memberikan pemahaman terhadap kekomunisan, para kader PKI dimasa jayanya (1960 – 1968) mempunyai buku saku yang bisa dibaca dimanapun dan kapanpun. Melihat keadaan ini timbullah keinginan Cak Nur untuk menyusun dasar-dasar Islam melalui kerangka sistematis yang kemudian beliau beri nama NDI (Nilai Dasar Islam) dengan tujuan agar mampu berfungsi sebagai pemahaman global tentang ajaran Islam.

4. Kalangan Literatur yang Tersedia

Pada waktu itu para kader HMI masih jarang menuangkan ide-ide ke-Islaman mereka dalam bentuk tulisan, salah satu penyebabnya adalah kesibukan melawan PKI secara fisik.

Pada masa kepengurusan Nurkholis Madjid HMI berusaha membuat pedoman perjuangan pada kongres ke X di Palembang ditetapkan Nilai Dasar Perjuangan (NDP)

Ahmad Wahib dalam bukunya yang kontroversial “Pergolakan Pemikiran Islam” menuliskan bahwa penulisan NDI tersebut dipengaruhi oleh perjalanan Nurkholis Madjid ke Universitas-universitas di Amerika atas undangan pemerintah Amerika pada tahun 1968. hal ini dibantah oleh Cak Nur dalam bukunya “HMI menjawab Tantangan Zaman” bahwa sebenarnya perjalanan ke Amerika tidak berpengaruh banyak terhadap dirinya.

Setelah perjalanan ke Amerika diselesaikan. Cak Nur melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah dengan menggunakan uang pesangon yang di hematnya selama di Amerika. Di Timur Tengah perjalanan di mulai dari Damaskus, Kuwait, kemudian ke Saudi Arabia, Turki, Lebanon dan Mesir. Di Riyadh Cak Nur bertemu dengan Farid Musthopa dan mendapat banyak hal dengannya. Selama di Timur Tengah Cak Nur sering mengadakan diskusi-diskusi kritis tentang berbagai hal ke-Islaman.

Sepulangnya Cak Nur dari menunaikan ibadah Haji atas undangan Menteri Pendidikan Arab Saudi (Syekh Hasan bin Abdullah Ali) sekitar bulan April 1969 keinginannya untuk menulis NDI makin menggebu-gebu, maka ia pun mencurahkan keinginannya tersebut selama bulan itu.

B. Kedudukan NDP dalam Batang Tubuh HMI

NDP merupakan landasan perjuangan HMI, karenanya perlu disosialisasikan kepada setiap kader HMI. Tujuan NDP dalam HMI merupakan alat untuk mencapai missi HMI.

NDP merupakan rumusan ideologi bagi perjuangan HMI mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Merupakan aspek universal dari Islam
  2. Fundamental value (Nilai Dasar)
  3. Kosmologis (Merupakan Kajian)
  4. Tersusun secara global dan universal

NDP terdiri dari beberapa bab, yaitu:

1. Landasan dan Kerangka Berikir

2. Dasar-dasar Kepercayaan

3. Hakekat Penciptaan dan Ekskatologi (Ma’ad)

4. Manusia dan Nilai-nilai Kemanusiaan

5. Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar Manusia) dan Keniscayaan Universal (Taqdir Ilahi)

6. Individu dan Masyarakat

7. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi

8. Sains Islam

BAB I

LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR

Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.

Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?

Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.

Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.

Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderawi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif.

Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.

BAB II

DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.

Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.

Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).

Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.

Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.

Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.

Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.

Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.

Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).

Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.

Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.

Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.

Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.

Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.

Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.

Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.

Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.

BAB III

HAKEKAT PENCIPTAAN DAN ESKATOLOGI (MA’AD)

Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.

Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan.

Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).

Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.

Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan antara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.

Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.

Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.

Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.

BAB IV

MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.

Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.

Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.

Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.

Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paus Yohanes Paulus II, Bunda Teresia atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang.

Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).

BAB V

KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA)

DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)

Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS. 2:30) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertentu atau sebagaimana binatang yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari.

Namum bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari Tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun keharusan - keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan pingsan (tak berkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-keharusan universal (takdir).

Keharusan - keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati) bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni Tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spritual.

Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh Tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.

Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.

Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan.

Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.

Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.

Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal.

BAB VI

INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.

Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langkah terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langkah terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefinisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membentuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada.

Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.

Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.

Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.

BAB VII

KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI

Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamanya mereka - mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.

Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.

Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya.

Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).

Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat - alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.

Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata materialistik justru penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh alat - alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari individu - individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis - borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistik.

Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidakadilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya.

Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme).

Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).

Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al- Quran yang artinya: ....tidak kita sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah (QS.3:64).

Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka (QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan memberikan minuman kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak, QS.72:16).

Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-perintah Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah tercurahkan.

Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.

Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.

Tidak diragukan lagi dari kajian yang komprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan.

BAB VIII

SAINS ISLAM

Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya.

Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.

Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan lainnya.

Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.

Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.

Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik.

Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya. Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.

Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri.

Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika).

Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika.

Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi. Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.

Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.

LAMBANG HMI

Keterangan:

  1. Bentuk huruf Alif: sebagai huruf hidup, lambang optimis kehidupan HMI
  2. Bentuk perisai: Lambang kepeloporan HMI
  3. Bentuk Jantung: Jantung adalah pusat kehidupan manusia
  4. Bentuk pena: Melambangkan bahwa HMI organisasi mahasiswa yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan.
  5. Gambar bulan bintang: Lambang keimanan umat Islam seluruh dunia
  6. Warna Hijau: Lambang kemakmuran
  7. Warna Hitam: Lambang ilmu pengetahuan
  8. Keseimbangan warna hijau dan hitam: Lambang keseimbangan, esensi kepribadian HMI
  9. Warna Putih: Lambang kemurnian dan kesucian HMI
  10. Puncak Tiga:
    • Lambang Islam, iman dan ihsan
    • Lambang iman, ilmu dan amal
  11. Tulisan HMI: Kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam

HYMNE HMI

Syair dan lagu: R. M. Akbar

1=C 4/4 lambat dan hikmat

BERSYUKUR DAN IKHLAS

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

YAKIN USAHA SAMPAI

UNTUK KEMAJUAN

HIDAYAH DAN TAUFIQ

BAHAGIA H M I

BERDO’A DAN IKRAR

MENJUNJUNG TINGGI SYIAR ISLAM

TURUT QUR’AN DAN HADIST

JALAN KESLAMATAN

YA ALLAH BERKATI

BAHAGIA H M I

MARS KOHATI

WAHAI HMI WATI SEMUA

SADARLAH KEWAJIBAN MULIA

PEMBINA PENDIDIK TUNAS MUDA

TIANG NEGARA JAYA

HIMPUNKAN KUATKAN SEGERA

JIWAI SEMANGAT PAHLAWAN

TUNTUT ILMU SERTA AMALKAN

UNTUK KEMANUSIAAN

JAYALAH KOHATI

PENGAWAL PANJI ISLAM

DERAPKAN LANGKAH PERJUANGAN

KUATKAN IMAN

MAJULAH TABAHLAH HMI WATI

HARAPAN BANGSA

MEMBINA MASYARAKAT ISLAM

INDONESIA

IKRAR UNTUK PELANTIKAN PENGURUS HMI

أشهد ان لا اله الا الله وأشهد ان محمدا رسول الله

رضيت بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحد نبيا ورسول

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

Aku bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah

Kami rela Allah Tuhan Kami, Islam agama Kami dan Muhammad Nabi dan Rasul Kami

Dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, kami pengurus HMI Cabang/Komisariat/Lembaga ....dengan ini berjanji dan berikrar:

  1. Bahwa kami dengan kesungguhan hati akan melaksanakan keputusan-keputusan Konfercab/Rapat Anggota HMI sebagai amanat yang dibebankan kepada kami.
  2. Bahwa kami akan selalu menjaga nama baik Himpunan, dengan selalu tunduk dan patuh kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta pedoman-pedoman pokok HMI lainnya.
  3. Bahwa apa yang kami kerjakan dalam kepungurusan ini adalah untuk mencapai tujuan HMI dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT untuk kesejahteraan umat dan bangsa di dunia dan di akhirat.

ان صلتى ونسكى ومحيي وممتى لله رب العالمين

Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam.



[1] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal 13.

[2] MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 cet II, penerjemah Satrio Wahono dkk, Serambi, Jakarta, 2005, hal 28.

[3] Sebagian pemikiran-pemikiran dari tulisan mereka dapat dibaca dalam Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.

[4] Karena telah mapan, maka tanda-tanda kemundurannya sudah mulai nampak. Ajaran Islam yang telah mapan tersebut masuk melalui daerah pantai yang merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, Islam di Jawa baru berkembang setelah jatuhnya Majapahit pada tahun 1478 (berdiri 1294 M), hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Malaka ketika itu merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan besar yang dikuasai Islam. Dengan demikian, Islam (terutama di Jawa) baru dapat berkembang di bumi nusantara justru ketika dunia Islam mulai kehilangan dominasi peradabannya di dunia global.

[5] Dalam Prakata pertama buku tersebut, 1981, Ricklefs menulis, ”Dalam pandangan saya, periode sejak tahun ±1300 telah menjadi unit sejarah yang padu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern.” Op. Cit., hal 14. Perlu diketahui bahwa versi awal buku ini memang mencantumkan periode sejarah Indonesia modern dimulai tahun ±1300, sebelum kemudian direvisi pada edisi ketiga tahun 2001 setelah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Di bagian I buku tersebut, Ricklefs memberikan judul ‘Lahirnya Zaman Modern’.

[6] MC Ricklefs, Ibid, hal 81.

[7] Kondisi ini menyebabkan Islam tidak memiliki momentum yang cukup untuk mengembangkan peradabannya di bumi nusantara.

[8] Dinamika internal yang dimaksud adalah konflik kekuasaan (suksesi kepemimpinan) diinternal kerajaan dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian membuat diantara mereka harus bersekutu dengan VOC untuk memperoleh bantuan. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah persaingan antara Ternate dan Tidore yang menyebabkan keduanya pernah bersekutu dengan VOC untuk menaklukkan saingannya. Jadi, dalam hal ini konflik internal bersifat kontraproduktif.

[9] Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang dicurahkan untuk berjuang melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di bumi nusantara juga pernah berhadapan dengan Portugis dan Inggris --penulis) yang muncul dalam semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian harus ditebus ternyata luar biasa mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia selama ratusan tahun terbiasa hanya berpikir reaktif dan bersikap fight against, yakni berjuang untuk melawan, melawan, dan melawan, karena memang kondisinya seperti itu. Inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam sampai sekarang masih relatif belum sampai kepada sikap fight for (pro aktif, membangun). Tentu, ada beberapa pengecualian. Misalnya, mereka yang berusaha membangun ekonomi. Nurcholish memandang hal ini sebagai salah satu faktor yang membuat umat Islam di Indonesia belum sempat menciptakan peradaban yang berarti karena persoalan-persoalan yang menyerap hamper seluruh energi tersebut. Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal 1198-1200.

[10] Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan sebagai buah politik etis pada umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi (bangsawan).

[11] George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Nationalism and Revolution in Indonesia), Penerjemah Nik Bakdi Soemanto, Pustaka Sinar Harapan dan UNS-Press, Solo, 1995, hal 59.

[12] Ibid, Hal 58

[13] Peran agama Islam dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia akhirnya mengejawantah ke dalam pergerakan kebangsaan Indonesia pertama yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Ibid, hal 64.

[14] Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Mizan, Bandung, 2005.

[15] Lihat, Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI (Suatu Tinjauan Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI), makalah LK II HMI Cabang Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14 Maret 2007. Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul, Historiografi HMI Tahun 1947-1993, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1995.

[16] Pendekatan gelombang ini tidak begitu jelas siapa yang pertama kali melontarkan. Secara teks, penulis menemukan pendekatan gelombang ini dalam tulisan Zulfikar Arse Sadikin, Membangun Gelombang Baru HMI: Epistemic Community, Centre of Zulfikar Information, Yogyakarta, 2006; dan dalam teks Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60 M, 5 Februari 2007.

[17] Perspektif gelombang sejarah HMI dan penggunaan metode arkeologi pengetahuan dalam membaca sejarah HMI dapat dilihat di Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60, 5 Februari 2007. Pendekatan arkeologi pengetahuan juga digunakan dalam penjelasan tema Kongres XXV HMI Februari 2006 di Makassar.

[18] Pandangan ini harus dipertahankan disamping karena faktor kesejarahan sebagaimana dipaparkan di atas, melainkan juga karena kita harus waspada terhadap upaya yang hendak memperkecil arti kehadiran Islam di Indonesia yang merupakan praktek kaum penjajah (Kristen). Di kalangan penginjil Kristen di Indonesia, menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah Islam di Jawa dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya Jawa dan budaya asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain, strategi mereka ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.

[19] BAB II Pasal 3 AD HMI

[20] BAB I Pasal 1 ART HMI

[21] BAB I Pasal 2 ART HMI

[22] BAB I Pasal 3 ART HMI

[23] BAB I Pasal 5 ART HMI

[24] BAB I Pasal 9 ART HMI

[25] BAB II Pasal 11 ART HMI

[26] BAB II Pasal 14 ART HMI

[27] BAB II Pasal 17 ART HMI

0 komentar:

Posting Komentar